Selasa, Agustus 23, 2011

Hidup Berisi Pilihan-Pilihan

Bismillahirrohmaanirroohiim...

Seorang orangtua tidak dibenarkan memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Sebab anak tetaplah manusia yang bisa memilih. Apalagi bila anak tersebut telah dewasa yang telah mampu mempertimbangkan dan mengemban segala resiko dari pilihannya sendiri. Dan kurang pantas bila mengatasnamakan takdir atas apa-apa yang telah ia paksakan kepada anaknya sebelum anaknya memilih.

Seperti dalam kisah Nabi Ibrahim dan Isma’il, Nabi Ibrahim yakin kalau mimpi untuk menyembelih anaknya adalah dari Allah SWT. Dia sangat yakin. Nah, kalau yakin, mengapa tidak langsung sembelih saja? Mengapa ada acara tanya-bertanya dengan Isma’il?

Subhanallah.. Adakah rupanya orangtua yang merasa mengemban perintah Allah untuk mendidik anak lalu memaksa sang bocah untuk masuk ke sekolah tertentu sambil bersabda, "Pokoknya!!!" Adakah masuk sekolah X adalah perintah Allah yang datang dalam mimpi tiga malam berturut-turut? Bahkan jikapun begitu, jikapun yang demikian jelas-jelas perintah Allah yang tersurat dan definitif, Ibrahim mengajari kita untuk selalu bermusyawarah dengan 'pihak terkait'. Tak ada paksa dalam mimpi di jalan cinta para pejuang.

"Ya sudah terima saja. Kamu menikah dengannya adalah takdir. Setiap orang punya takdirnya sendiri-sendiri. Bebungaan pun tak semuanya menjadi buah. Ada yang terjatuh ke bumi dari pohonnya. Kalau kamu menikah dengannya dan akhirnya cerai, itu pun takdir."

Tidakkah mereka ketahui, bahwa apa itu takdir, hanya disebut begitu ketika sudah terjadi. Tapi dalam hal berbuat maksiat, janganlah kita menisbat. Karena selalu ada ruang di antara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi pilihan-pilihan. Maka itulah gunanya misteri takdir. Agar kita memilih di antara bermacam tawaran. Untuk menyusun cita dan rencana. Lalu bertindak dengan prionsip indah, "Kita bisa lari dari takdir Allah yang satu ke takdir Allah yang lain, dengan takdir Allah pula."

Bahwa ada pilihan-pilihan dalam menyusun cita dan langkah di jalan cinta para pejuang, biarlah kali ini dua orang wanita yang mengajari kita. Wanita pertama bernama Habibah binti Sahl. Inilah Imam Al-Bukhari meriwayatkannya. "Sesunguhnya", kata Ibnu 'Abbas, "Habibah binti Sahl isteri Tsabit ibn Qais telah menghadap kepada Nabi SAW. Ia berkata, "Ya Rasulullah, saya tidak mencela akhlaq dan agamanya, tetapi saya tidak menyukai kekufuran dalam Islam."

Rasulullah SAW bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kebun-kebunnya?"

Ia menjawab, "Ya...!"

Maka Rasulullah SAW bersabda kepada Tsabit, "Ambil kembali kebun itu, dan thalaq-lah isterimu satu kali!"

Dalam redaksi yang lain, Habibah bercerita banyak tentang sebab keinginannya bercerai dari Tsabit. Habibah berkata kepada Rasulullah, "Tampaklah apa yang tidak aku ketahui pada malam pengantin kami. Aku pernah menilah beberapa orang laki-laki, namun suamiku adalah lelaki yang paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya. Tidak ada satu kebagusanpun yang aku temui pada dirinya. Aku tidak mengingkari kebagusan akhlaq dan agamanya, Ya Rasulullah. Tetapi aku takut menjadi kufur jika tak bercerai darinya. Aku takut jika terus menerus bermaksiat padanya karena ketidaktaatan pada suami, dan aku tahu itu menyalahi perintah Allah SWT..."

Habibah begitu mengerti akan potensi dirinya. Ia tahu akan resiko yang kemungkinan besar terjadi sebagai konsekuensi dari bertemunya realita kondisi yang ia hadapi dengan watak, sifat, dan karakter dirinya. Maka ia bicara tentang sebuah hak yang memang semestinya ia peroleh.

Itu tidak tercela. Bagaimanapun ada harapan-harapan tersendiribagi seorang wanita untuk mendapatkan suami yang begini dan suami yang begitu. Siapapun tidak berhak mengatakan Habibah berselera rendah karena ia menolak Tabit ibn Qais semata karena alasan fisik. Dan sebenarnya alasannya lebih pada dirinya sendiri yang khawatir kufur pada Allah atas kondiri suaminya. Dalam ungkapan Habibah, "Aku tidak mengingkari kebagusan akhlaq dan agamanya, Ya Rasulallah. Tetapi aku takut menjadi kufur jika tak bercerai darinya." Ada hal lebih besar yang ia takutkan, yakni kufur pada nikmat Allah, dan durhaka pada suami.

Habibah binti Sahl memilih untuk bertaqwa pada Allah dengan meminta cerai dari seorang suami yang sulit diterima oleh perasaannya. Dan itu pun bukan tanpa resiko. Bersuamikan Tsabit ibn Qais dalam bayangannya menuntut kesabaran yang tak tertanggungkan. Tetapi ia juga sadar, hidup tanpa suami membutuhkan kesabaran dalam bentuknya yang lain. Selalu ada ruang, dan ruang itu berisi pilihan-pilihan.

Tetapi, bicara tentang kemuliaan, tentu lebih dari sekedar bicara tentang hak. Inilah kisah tentang wanita kedua. Ada satu kasus menarik dari seorang shahabiyah Rasululah yang dinikahkan oleh ayahnya tanpa persetujuan dari dirinya. Menarik. Karena ia mengungkap satu pelajaran besar tentang hak wanita untuk menentukan pilihan. ia memperjuangkan hak saudari-saudarinya itu agar mendapat ketegasan pengakuan dari Allah dan Rasul-Nya. Dan jauh lebih menarik, karena ia mengungkap kemuliaan sebuah kata ridha kepada orangtua, dan keagungan kata shabar atas ujian. Dengarlah, dalam riwayat Imam An-Nasa'i, A'isayah bercerita dalam perasaan yang senada. Perasaan seorang wanita...

"Ada seorang gadis remaja dinikahkan dengan seorang laki-laki. Ia kemudian berkata padaku, "Sesungguhnya ayah telah menikahkanku dengan putera saudaranya agar martabatnya dapat terangkat melalui diriku. Tetapi aku tidak menyukainya..!"

'Aisyah lalu berkata, "Duduklah!" Hingga kemudian datanglah Rasulullah SAW. Maka aku pun memberitahukannya kepada beliau. Rasulullah lalu mengutus seseorang untuk memanggil ayahnya agar hadir ke rumah beliau.

Ketika sang ayah hadir, rasulullah SAW menyerahkan kembali urusan hal pernikahannya kepada sang gadis. Tetapi gadis itu berkata, "Ya Rasulallah, sebenarnya aku telah ridha akan apa yang dilakukan ayah kepadaku. Hanya saja, aku berkeinginan untuk memberitahukan kepada para wanita, bahwa mereka memiliki hak dalam masalah ini."

Ada hak dalam menolak pernikahan yang digagas orangtua. Tetapi ada kemuliaan dalam mentaati orangtua dan berbakti pada mereka. wanita agung ini memilih yang kedua. Bukannya tanpa resiko. Karena dalam pernikahan ini ianya harus membangun cinta, mengatur perasaannya dari titik tidak suka. Begitulah. Selalu ada ruang di antara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi pilihan-pilihan. Maka itulah gunanya misteri takdir. Agar kita memilih di antara bermacam tawaran.


*) kisah-kisah tersebut diinspirasi dari buku "Jalan Cinta Para Pejuang".
Red Zone, Bojongsoang Bandung
23 Ramadhan 1432H/23 Agustus 2011M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ