Bila hujan...
Nyaris setiap hari hujan turun dari siang sampai malam. Deras. Tak perlu lagi menyiram bunga-bunga. Hanya perlu memangkas kenangan.
Bila hujan...
Aku harus lebih keras lagi berjuang. Melewati hujan, kilat, petir, guruh banjir, becek, dan macet di perjalanan pulang. Seringkali harus merelakan rok panjang basah karena banjir tinggi hingga di atas lutut. Terkadang kakak sepupu yang iba menawarkan boncengan pada sepeda motornya, tapi aku tahu diri bahwa statusku adalah tunangan orang. Berkali-kali diwanti-wanti untuk tidak dibonceng lelaki manapun, siapapun. Walau saudara sekalipun. Semua demi menjaga dari gunjingan orang. Padahal dia juga sudah berkeluarga. Ah, setiap mengingat ini hatiku selalu gerimis. Betapa aku tidak menginginkan keadaan seperti ini. Kalau diijinkan memilih, aku lebih baik menikah dari pada hidup menggantung oleh ikatan pertunangan tak jelas dengan segala peraturannya yang membuatku sesak. Aku merasa kemerdekaanku sebagai perempuan dan anak dirampas sia-sia.
Entahlah. Ujung hatiku yang lain juga meronta. Merasa bahwa aku terlalu apatis dan mendramatisir keadaan. Membiarkan diri dipayungi sedih yang (sepertinya) hanya aku ciptakan sendiri. Berlarut-larut memikirkan masalah yang tidak jua ada jalan keluarnya, atau justru malah sudah tak ada dan aku berlarut-larut memikirkan masalah yang tiada endingnya? Entahlah. Sisi hatiku yang lain berontak, kemana saja kamu, Thiya? Tidak lihatkah kamu kesusahan Bapak dan A'Mujib mencari penghidupan? Berdagang keliling menerobos hujan sejak petang hingga pulang dalam dinginnya pekat malam. Terlalu jahat rasanya kalau aku selalu menyalahkan mereka, orang tua yang kucintai sepenuh jiwa, atas dera beban pikiran yang berjuta. Mereka tentu lebih banyak masalah yang harus dipikirkan. Tentang biaya hidup yang semakin melambung. Tentang hutang-hutang keluarga yang tak kunjung lunas. Tentang dagangan sepi karena hujan. Alangkah berdosanya kalau aku merepotkan mereka dengan masalah ini. Aku tak tahu, sebenarnya kebahagiaan itu apa, ketenangan itu apa. Sepertinya aku bisa tenang kalau saja aku berhenti memikirkan pria-pria yang berseliweran menawarkan dunia dan kebahagiaan. Tidak Habib sekaligus Ustadz yang menjadi tokoh penting ormas besar di negeri ini. Tidak ikhwan mapan yang menjanjikan 20 juta sebagai mahar. Tidak pula putra kyai yang memiliki santri hingga ribuan. Mana bisa aku yang miskin, bego, tampang pas-pasan menemani dakwah sang suami yang tokoh publik? Bagaimana bila ada umatnya bertanya padaku sedangkan bahasa arab dan membaca kitabpun aku tak paham? Dan bagaimana aku hidup di rumah tembok, kemana-mana naik mobil sedangkan orang tua masih harus berhujan-hujan menjajakan dagangan?
Bila hujan...
Aku sering tertegun. Melamun. Seharusnya aku realistis. Jangan terlalu idealis. Lihat kenyataan! Inilah hidupku, ini yang harus kujalani. Mana lagi pilihan selain mencoba belajar menerima dia, tunanganku. Bagaimanapun dia adalah calon suamiku. Bukan aku menyerah. Hanya tak ingin bermimpi terlalu lama terlalu jauh. Bukankah Nabi sendiri benci pada umatnya yang panjang angan-angan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ