Kemarin, untuk seru-seruan di FB, aku pasang pic profile tiup terompet, beserta pernak-pernik menyambut tahun baru lainnya. Belum ada satu menit semua pic itu terupload, sudah ada seorang kawan yang komplain. Ia bertanya kenapa aku merayakan tahun baru sekarang sedangkan tahun baru kita (baca: Tahun Baru Hijriyah) sudah lewat? Ia juga bertanya padaku apa makna meniup terompet. Ah, kubilang saja kalau semua itu untuk seru-seruan di facebook saja. Bukan berarti aku lebih antusias dengan hingar bingar tahun baru Masehi dan justru acuh pada tahun baru Hijriyah. Apa karena kita orang Islam lalu tidak boleh ikut menyambut tahun baru Masehi? Padahal ini adalah tahun baru nasional. Bukankah selain kita seorang Muslim, kita juga warga negara Indonesia. Toh ada perayaan tahun baru atau tidak tidak berpengaruh apa-apa padaku. Thiya Renjana tidak pernah mengenal istilah malam mingguan atau tahun baruan. Jadi seringkali telingaku merasa aneh sendiri bila ada kawan bertanya malam minggu ini kemana, tahun baru ini kemana. Semalam ada lagi seorang kawan yang terheran-heran mengetahui aku tidak keluar sama sekali malam tahun baru ini dan semakin heran mengetahui malam-malam sebelumnya aku sudah sangat terbiasa dengan situasi seperti ini. Lalu dengan riang dia cerita tentang ramainya suasana menyambut tahun baru di tempatnya (yang sudah aku ketahui dari bisingnya suara di telfon). Dia menyayangkan kenapa aku tidak leluasa keluar rumah walau ramai-ramai bersama saudara sendiri. Ah, aku tak menyesali keadaanku. Aku bersyukur. Toh, walau aku tak keluar rumah, masih ada sahabat yang masih sudi menelfonku malam-malam begini. Tapi tak urung, cerita-ceritanya membuatku diam-diam harus susah payah menahan satu sengguk di dalam dada....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ