Jumat, Juni 04, 2010

Tatia

Bismillahirrohmaanirrohiim...
Saya sedang kangen Tati...
Tiada ungkapan perpisahan dalam PERSAHABATAN walaupun maut menjadi noktah, karena seorang sahabat itu terlalu istimewa dalam DOA saudaranya yang lain biarpun tanpa bayangnya.... 

Namanya Tati Ernawati. Sosok cerdas, religius, dan santun. Perawakannya sedang, masih jauh lebih tinggi saya darinya. Berwajah manis dengan mata bulat besar dan bibir tipis. Ia adalah anak cerdas. Saya selalu kejar-kejaran ranking di kelas dengannya. Ia juga dewasa. Wajar karena usianya lebih tua beberapa bulan di atas saya. Hubungan kami yang sangat erat melebihi hubungan kakak-adik. Sampai sekarang, setiap bertemu dengannya kami selalu histeris saking senangnya. Ia adalah saudara sekaligus sahabat saya. Tapi banyak orang yang lebih ‘parah’ menyebut kami; Saudara Kembar! Saya terkekeh sendiri setiap mendengar itu. Saya dan Tati kembar? Memangnya terlihat mirip dari mananya? Tapi memang seperti itulah kenyataan orang-orang di sekitar menilai kami. Saya masih ingat betul, sering sekali kawan baru atau adik kelas yang salah memanggil nama kami karena kesulitan membedakan yang mana Tia yang mana Tati. Hingga kami berdua diberi nama sendiri oleh kawan-kawan, yaitu Tatia. Tati dan Tia. Nama ini murni bukan kami berdua yang membuat. Ya itu tadi, yang membuat adalah orang-orang yang mengira kami kami kembar. Padahal, seperti yang saya kemukakan tadi, perawakannya sedang dan lebih tinggi saya darinya. Berwajah manis dengan mata bulat besar dan bibir tipis. Jadi, mirip dimananya?


Beberapa tahun lalu sewaktu jaman masih MA, Hubungan kami sempat renggang dan tidak saling sapa selama dua tahun. Tidak ada penyebab pasti. Seingatku, selama dua tahun itu saya merasa canggung menjadi atasannya di tiap organisasi di luar pesantren. Di antaranya di sekolah dan di IPPNU. Kala itu, saya benar-benar merasa tidak enak hati menyuruh dan memerintah dia untuk melakukan tugas walaupun sebenarnya itu memang wewenang saya. Secara dia adalah orang yang saya hormati meski kami begitu akrab sedari kanak-kanak.

Akhirnya, hubungan kami mencair dan kembali hangat pada kenaikan ke bangku kelas tiga MA. Dimana pada saat itu saya sudah bisa melepas semua jabatan saya di luar pesantren. Sebab siswa kelas tiga harus sepenuhnya konsentrasi pada persiapan Ujian Akhir Nasional.

Saya dan dia semakin lengket. Sebab kala itu, ia mulai jujur tentang perasaannya pada lawan jenis. Dan pria itu adalah kawan seangkatan kami di Pondok Putra. Saya sempat tidak percaya, karena dulu orang itu sangat dibencinya. Saya sudah mengetahui sejak lama kalau si pria menaruh hati pada Tati tapi walau begitu, saya masih tidak bisa menyembunyikan perasaan kaget saya saat mengetahui Tati justru mulai menyukainya di akhir masa sekolah kami. Dan satu lagi kesamaan kami saya sadari. Penghuni hatinya banyak kemiripan dengan seseorang yang juga telah berhasil memautkan hati saya. Berasal dari daerah yang sama, berusia sama, banyak kebiasaan yang sama, panggilan yang sama, dan bla bla bla. Dan yang membuat kami makin senang adalah pangeran hati kami saling menganal satu sama lain.
Menyenangkan sekali membicarakan pangeran hati kami masing-masing. Hanya bedanya, saya sudah bertunangan sejak SD dan dia masih single hingga saat itu.

Tapi kebahagiaan kami rupanya tak lama. Beberapa waktu kemudian, dia tidak bisa berkutik saat keluarga besar kami memutuskan untuk menerima pinangan seorang Ustadz kami sendiri dan mengabaikan pinangan Pangeran Hatinya. Kesamaannya dengan saya, keputusan itu tanpa melibatkan yang bersangkutan, seolah yang bersangkutan tidak punya hak apa-apa atas hidupnya sendiri. Itu adalah awal saya selalu merasa sesak bila mengingatnya.

Seringkali, saya mendapatinya sedang menangis di sudut ruang kantor. Tempat yang tepat untuk menyepi karena jarang ada pengurus atau mbak santri yang ke sini kecuali ada kepentingan. Dan setiap saya menggenggam tangannya, merengkuh bahunya, saya tidak pernah berhasil menahan diri. Pertahanan saya selalu jebol di hadapannya. Saya tidak pernah sanggup menegarkan hatinya karena ternyata saya jauh lebih rapuh. Saya justru terisak lebih keras darinya.
Tia, kenapa malah nangis??? Jangan nangis atuuhh… Kok kamu malah nangis???” suaranya tercekat.
Saya menjawab di antara isakan, “Saya nggak sanggup liat kamu nangis, Ti. Saya bener-bener nggak sanggup. Kamu seperti ini karena Babehku. Yang maksain keputusan itu justru Babehku, Pamanmu! Bukannya ortu kamu. Saya nggak sanggup membayangkan bagaimana dia memaksakan kehendaknya ke aku kelak karena ke kamu aja Babeh udah seperti ini. Saya mewakili Babeh minta maaf sama kamu. Maafin Babeh, Ti. Saya makin sakit ngeliat kamu gini. Sakit sekali, Ti…
Kami pelukan setelah itu. Mencoba meredam lara di hati masing-masing. Tidak tahu apalagi yang dapat kami lakukan selain ini. Saya sadar tidak semua anak didesain menjadi balon biasa yang manut pada gravitasi Bumi. Ada yang memang berisi Helium dari sananya, dan itulah kami. Kami juga tidak bisa melulu setuju pada keputusan orang tua. Dan sayangnya, keluarga kami sama-sama tidak demokratis.
Saya masih hafal betul bagaimana sesaknya dada saya kala harus menyaksikan tangisan di antara keduanya. Tati dan Pangeran hatinya sama-sama menghubungi saya dan menangis. Sungguh, bagaimana hati saya tidak ikut runtuh?

Di teras depan yang sepi, kembali saya menekuri balon pikiran saya sendiri. Tati membuat saya tertegun lagi kalau kami sama. Kami memang sama. Hanya masalah waktu dan cara.

--- ♥ ♥ ♥ ---

Hape sepuh berdering. Lamunan saya tersentak.

1 new message.

“Teh, naha nya nasib kita ni sama.. Jadi korban adat…”

Dari adik sepupu. Saya reply,

“Bagaimana keadaanmu, Dhe’?”
“Jasmani sih baik. Keadaan psikis sangat buruk.”
“Tapi kamu nggak sampai cengeng kayak Teteh, kan?”
“Sayangnya kita sama, Teh. Tidak bisa luput dari yang namanya air mata.”

Saya menarik nafas dalam. Satu lagi harus mengalami yang serupa. Dalam hati. Cukup dalam hati, kudoakan mereka semoga bahagia…


- - - - - - - - - -
Backsound: Menentang Perjodohan, by Ferhad Najib
Notes: tulisan ini dibuat tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Semoga mereka ridlo.
Kalau tidak, saya berdoa semoga mereka berdua tidak pernah menemukan tulisan ini  Photobucket

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ