Kamis, Juli 22, 2010

Ustadzah Thiya :D

Bismillahirohmaanirrohiimm....

Photobucket
Saya percaya bahwa belajar adalah perjalanan seumur hidup. Makanya bila disuruh memilih menghabiskan hari-hari saya dengan kerja dan bergaji besar atau di ruang kelas untuk berbagi dengan anak-anak tapi bergaji minim, maka saya mantap memilih di ruang kelas. Mengajar. Bukan merasa sok pintar. Tapi justru karena saya sadar bahwa saya hanyalah output pesantren yang setengah-setengah, setengah bego dan setengah bodo, hihihi. Maka dari itu saya ingin belajar lagi dan saya tahu dengan mengajar akan membuat kita semakin pintar.


Waktu kecil saya pernah berceloteh kalau dewasa kelak ingin menjadi Guru, seperti Bu Guru saya di sekolah yang baik-baik dan cantik-cantik. Tapi kata Mamah, "buat apa? Pekerjaanya bergelimang kapur dan gajinya sedikit!" Dan sampai beberapa lama saya sempat termakan kata-katanya, apalagi saya perhatikan kondisi seperti sekarang saat melihat tayangan sinetron di televisi, guru hanyalah pelengkap bagi cerita. Tak jarang guru ditampilkan dengan culun atau blo’on, bengis seperti monster dan menjadi olok-olokan anak didik. Entah dari mana dan siapa yang memulai, kesan miring ini kerap diidentikan pada status guru. Tanpa disadari, Profesi guru masih menjadi suatu yang dimarjinalisasikan. Guru harus dicekoki dengan icon penghargaan pahlawan tanpa tanda jasa yang rela berkorban. Tapi saat saya duduk di bangku akhir MTs saya mulai kepikiran lagi untuk menjadi Guru. Kebetulan saat itu saya mulai sering diminta menjadi badal guru yang berhalangan hadir. Hingga saya resmi diberi jam mengajar junior-junior di pesantren setelah lulus MA. Sejak itu, setiap menonton tokoh guru di televisi saya benar-benar tidak setuju dengan panggilan Guru Cupu, Guru Killer atau semacamnya. Percayalah, mereka sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya.

Beberapa hari lalu seorang kawan seangkatan di Malang yang lebih dulu terjun ke dunia ini mengirimi saya SMS, dia menyuruh saya menerima tawaran menjadi guru karena kabarnya pemerintah akan menaikkan gaji guru pada tahun 2011 mendatang. Tapi bilhaq, saya tidak mempermasalahkan gaji. Karena Guru bagi saya bukan profesi tapi pengabdian. Alasannya pertama tentu Lillahi ta'ala, kedua sebagai media belajar, ketiga tabungan akhirat, keempat berada di tengah anak-anak menjadi kesempatan saya belajar sabar dan melembutkan hati, kelima agar saya punya lingkungan baru yang Insya Allah baik.

Oke, sebenarnya ketar-ketir juga kalau ditawari mengajar. Orang pas-pasan seperti saya ini mana bisa mengajar? Ilmu mana yang bisa saya bagi? Tapi bukankah mengajar adalah proses pembelajaran? Kenapa juga takut? Saya ingin belajar mengendalikan diri dan mungkin dengan begini saya bisa mengalahkan penyakit minder saya.

Sekalian, ini ada artikel bagus dari www.edutopia.com tentang cara fun saat proses belajar-mengajar. Begini kira-kira:

Guru menciptakan susasana kelas yang aman dan nyaman secara emosional dan intelektual

Terkadang siswa punya banyak pertanyaan dibenaknya, tetapi ada semacam perasaan malu dan takut, dikira bodoh jika melontarkan pertanyaan. Sebagai guru, kerja keras kita salah satunya adalam menciptakan kelas yang memberik keamanan secara emosional bagi siswa. Memang agar menjadi siswa yang percaya diri mereka perlu mengambil resiko, tetapi di lingkungan yang tidak mendukung kenyamanan secara emosional, siswa akan berpikir 1000 kali untuk mau bertanya dan berpendapat.

Anda juga bisa membuat peraturan kelas yang isinya antara lain ‘Tidak boleh merendahkan atau meremehkan pendapat orang lain’ Jangan lupa anda juga memberi contoh dahulu kepada siswa untuk mengucapkan terima kasih dan menhargai untuk setiap pertanyaan, atau pendapat dari siswa anda. Jika ini terjadi dikelas anda dijamin kelas akan berubah menjadi kelas yang setiap individu didalamnya salaing mendukung dan mudah untuk berkolaborasi dalam berpengetahuan.

Tidak hanya sampai disitu saja, kelas yang membuat guru menjadi guru kreatif semestinya juga aman secara intelektual. Siswa bisa mandiri dan mengerti dimana letak alat tulis, dikarenakan semua hal dikelas sudah disiapkan dengan rapih dan terorganisir. Siswa tahu apa yang harus dikerjakan dikarenakan intruksi penugasan yang jelas oleh guru. Tidak hanya jelas tetapi juga menantang dengan demikian siswa bisa mengekpresikan kemampuannya dalam mengerjakan tugas yang guru berikan.

Guru mengukur dengan hati, seberapa besar keterlibatan (engagement) siswa dalam tugas yang ia berikan.

Saya jadi ingat sebuah pertanyaan yang bersifat reflektif mengenai cara kita mengajar dan membelajarkan siswa. Pertanyaan nya begini “Jika saya adalah murid saya sekarang, seberapa senang saya diajar oleh guru seperti saya? “

Seorang guru yang ahli mampu menciptakan suasana kelas yang aktif dalam pembelajaran di kelas yang diajarnya dalam presentasi keterlibatan yang penuh alias 100 persen. Artinya, misalkan seorang guru mengajar selama 40 menit, maka selama 40 menit itu pulalah, siswa belajar dengan aktif dan terlibat penuh dalam pembelajaran.

Tentu tidak dalam semalam semua guru bisa 100 persen menciptakan kelas yang aktif. Namun membutuhkan latihan dan  latihan. Tetapi jalan kesana akan lebih cepat apabila kita mau jujur bertanya pada diri sendiri “Seberapa besar siswa aktif atau terlibat penuh dalam pembelajaran yang saya lakukan?”.

5 menit terakhir yang menentukan

Jadikan 5 menit terakhir pembelajaran anda untuk merangkum, berbagi atau berefleksi mengenai hal yang siswa sudah lakukan selama pembelajaran.

Bagilah menjadi dua pertanyaan besar, misalnya bagian mana yang paling berat dilakukan dan susah dimengerti. Pertanyaan selanjutnya, pengetahuan baru apa yang kamu dapatkan hari ini? Dengan demikian membuat siswa berdialog dengan dirinya sendiri mengenai proses belajar yang telah dilakukannya.

Guru menciptakan budaya menjelaskan, bukan budaya asal menjawab dengan betul.

Ciri-ciri sebuah pertanyaan yang baik adalah pertanyaannya hanya satu tetapi mempunyai jawaban yang banyak. Bandingkan dengan jenis pertanyaan yang hanya mempunyai satu jawaban. Hal yang terjadi siswa akan berlomba menjawab dengan benar dengan segala cara. Termasuk mencontek misalnya.

Sebagai guru budayakan pola perdebatan atau percakapan akademis di kelas kita. Saat mendengarkan rekan mereka berbicara dan berargumen, mereka akan belajar memilih dan membandingkan pendekatan atau cara yang orang lain lakukan untuk menjawab sebuah masalah yang guru berikan.

Sebagai guru saat memberikan soal berikanlah siswa beberapa peluang kemungkinandalam menjawab sebuah soal. Misalnya soal yang bapak berikan ini punya tiga alternative, bisa kah kamu menemukan ketiga-tiganya?

Guru mengajarkan kesadaran siswa dalam memandang sebuah pengetahuan.

Saat membelajarkan siswa, dikarenakan keterbatasan kita, terkedang kita sudah membuat mereka menebak atau mengarang-ngarang sebuah jawaban demi mendapatkan hasil yang benar. Hal ini siswa lakukan secara sadar atau tidak sadar. Untuk itu mari kita letakkan gambar dibawah ini disamping soal yang kita berikan kepada siswa di kertas soal.

Dengan demikian sebagai guru kita menjadi tahu saat siswa menjawab soal dengan salah tapi dengan keyakinan (for sure) atau menjawab soal dengan benar tapi dengan tidak yakin (confused). Menarik bukan ?

Biarkan siswa memberi tanda silang (X) pada tempat dimana dia merasa cocok.
Yang punya cita-cita luhur mencerdaskan bangsa, klik juga situs ini www.indonesiamengajar.org.

Terakhir, saya ucapkan terima kasih tak berhingga pada semua guru yang sengaja atau tak sengaja mengajari saya tentang kehidupan di segala tempat belajar formal atau non-formal sampai detik ini dan masa mendatang. Saya memang tak bisa membalas apa-apa. Allah yang akan mengganti.

Yuukk Marriii....

~ Thiya Renjana ~
masih di ruang kerja, Palasari Bandung, Jawa Barat

Filosofi tentang kebijakan guru di dalam kelas saat proses belajar mengajar :
1. Pendapat Guru selalu benar
2. Guru tidak pernah salah
3. Jika guru bersalah lihat nomor 1 dan 2

1 komentar:

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ