Jumat, Maret 04, 2011

Satu luka untuk satu ketangguhan

Bismillahirrohmaanirrohiim...

'Jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi sepahit apapun keadaannya.' [Andrea Hirata]


Sudah dua hari FB saya protect sehingga tidak ada siapapun yang bisa menulisi wall, mengomentari atau sekedar memberi jempol pada setiap kiriman status, note, foto, video, tautan, dan lainnya di FB saya. Sebabnya saya sedang gendok tingkat dewa. Penyebabnya pihak sana —kaliantahulahsiapa— melaporkan ke keluarga saya bahwa mereka TAU saya ini banyak cowoknya, kerjaannya chating-chatingan, pacaran mulu di pesbuk, mesra dengan beberapa nama termasuk salah seorang saudara laki-laki saya, dan bla bla bla. Hiks, bukankah fitnah itu lebih kejam dari fitness? Padahal siapapun yang menjadi kontak saya di FB tahulah apa pernah saya mesra-mesraan di FB dengan seseorang. Saya juga berusaha bijak pesbukan kok. Saya selalu selektif mengkonfirmasi invite pertemanan di FB. Siapapun yang mengirim pesan berkali-kali memaksa saya mengapprove invitenya pun tidak saya pedulikan kalau saya lihat profilenya tidak jelas. Dan yang dirasa mengganggu, yang memaksa taaruf padahal saya sudah bilang kalau saya tunangan, maka saya tidak segan-segan mendelete bahkan memblokirnya dari friendlist. Akhirnya FB saya sett private dan bahkan sempat terlintas untuk menutup akun. Dua hari saya nyaman ngamuk-ngamuk di FB tanpa ada yang bisa protes, koment, dan nge-LIKE. Tapi kalau dipikir kembali, kenapa malah saya yang harus mengalah dan tutup akun? Apa itu tidak berarti saya kalah dan mengaku salah? Padahal jelas-jelas mereka —kaliantahulahsiapa— itu bukan TAU tapi cuma SOK TAU!!!

Kawan-kawan saya di dunia maya tentu saja mendukung saya karena mereka tahu fakta sebenarnya seperti apa. Tapi apa keluarga saya mau peduli? Akibatnya, keseharian saya semakin diproteksi. Saya dilarang pesbukan. Dan yang biasanya jam siang saya sampai pukul 6 atau Adzan Maghrib, sekarang jam 5 harus sudah ada di rumah. Padahal jam 5 sore saya baru melangkah keluar dari pintu rumah Bibi. Akhirnya saya sering ditelfon orang rumah bahkan saat saya belum juga naik angkot! Saya jadi tidak berani mampir ke toko membeli keperluan sehari-hari atau ke tempat fotocopy sekedar memprint sesuatu seperti biasanya. Kesal. Saya seperti tak punya waktu untuk diri sendiri.

Orang rumah semakin sering mempertanyakan saya di mana, ngapain, dengan siapa. Saya keberatan ditanya demikian, walaupun sebenarnya kalau dijawab sedang apa, di mana, sama siapa dan pulang jam berapa juga tidak akan menimbulkan huru-hara sih, soalnya ya aktivitas yang saya lakukan, tempat beraktivitas, teman beraktivitas bahkan jam pulang saya pun biasa-biasa saja. Pada intinya, ketika ditanya demikian, saya merasakan dua hal : (1) tidak dipercaya (2) terganggu karena (bagi saya), mau ngapain, di mana, sama siapa dan pulang jam berapa itu 'urusan saya'. Nggak suka deh, kalau urusan saya diutak-atik oleh orang lain.

Larangan selanjutnya, saya dilarang SMSan dan telfon-telfonan kecuali hanya dengan orang rumah. Bisa dibayangkan kan saya harus men-sett "silent" hape saya dan saya harus ngobrol bisik-bisik setiap ada perlu bicara sama orang lain di telfon.

Dan ini semua karena mereka —kaliantahulahsiapa— !!!

Analisis saya, mereka bersikap begitu karena sudah kadung maju, sehingga ;
1. dia ngga terima kalau cuma alasan saya tidak suka
2. dia tidak ingin menanggung malu
3. biar rasa malu tidak terlalu besar, akhirnya dia mencari-cari kesalahan saya.

Huuffttt...

Okaylah, tak usah pedulikan itu, Thiya! Masih banyak hal penting lain yang bisa dipikirkan dari pada mengurusi ini. Berbuat banyak saja untuk orang lain. Jangan hanya karena masalah seperti ini saya malah bengong-bengong sendirian setiap hari tanpa melakukan hal berarti. Saya tetap harus melakukan amal dan berkembang. Pokoknya kebenaran sejatinya milik Allah. Chek menyala ben chek nyare kesala'anna oreng... Finally, saya normalkan kembali settingan FB saya untuk membuktikan pada dunia bahwa saya tidak pernah macam-macam di dunia maya.

"Hiduplah Untuk Memberi yang Sebanyak-banyaknya, 
Bukan untuk Menerima yang Sebanyak-banyaknya. (Pak Harfan)"
— Andrea Hirata (Laskar Pelangi)

Sabar Thiya, satu luka untuk satu ketangguhan! Saya hanya harus lebih banyak lagi berdoa.

Jangan berdoa minta hidup lebih mudah, namun berdoalah supaya hidup kita lebih kuat. Jangan berdoa minta beban yang kita pikul diringankan, mintalah punggung yang lebih kuat untuk bertahan. Sebab Allah tahu seberapa kuat kita dalam menghadapi cobaan. Dan cobaan itu tidak akan pernah melebihi kekuatan kita, bahkan dalam hal sekecil apapun Dia selalu memperhatikan kita dan memberikan yang terbaik buat kita. Dan semoga saat waktu dan kenyataan tak lagi dalam kuasaku. Semoga hati kita ikhlas menerima.

Bawa ALLAH selalu di dalam hati.. Niscaya semua urusan akan mudah.. Mudah.. Mudaaaaah.. ˆ⌣ˆ


~ Thiya Renjana ~
di tengah koneksi speedy odong-odong.
Bandung, 04032011
Kuatkan hamba, Rabbi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ