Minggu, Mei 23, 2010

Aku ingin teman T_T

Photobucket

Bismillahirrohmaanirrohiim...


Bulir-bulir hujan jatuh bergulingan membasahi kaki-kakiku. Dingin. Sebagian tubuhku disapa tempiasnya walau sudah susah payah kupayungi. Ah, beberapa langkah lagi aku sudah tiba ke beranda rumah. Senangnya. Kupercepat langkah karena pintu rumah seakan menggapai-gapai di mataku.
Kusisikan payung basahku, mengelap telapak kaki di keset butut depan pintu. Lalu melaksanakan ritual wajib setiap pulang kerja seperti ini. Mengambil piring, membuka lemari makan, mengisi setengah piring dengan nasi, dan sepiring penuh lauk serta sayur (harap maklum. Porsi kuli! :D)
Setelah ambil posisi nyaman, rebutan remote bentar ama si bungsu, aku pun bongkar-bongkar channel TV. Sayangnya jam segini nggak ada acara yang seru. Jadi kubiarkan saja layar televise menampilkan si Uya Kuya.

Sembari menyuapkan sepotong tempe ke mulutku, aku melamun. Seandainya aku yang tiba-tiba dihipnotis Uya Kuya itu. Aku bisa membayangkan apa saja yang akan terungkap di sana. Uya bilang, “ungkapkan apa saja yang ingin kamu ungkapkan. Tapi jangan ungkapkan apa yang menurutmu tidak perlu diuangkapkan.”
Yah, intinya… Terlalu banyak yang ingin diungkapkan. Terlalu sesak yang ingin ditumpahkan.  Inginnya dunia tau, inilah Thiya! Seperti inilah, Thiya! Tapi kenapa setiap ada yang tahu aku justru ingin selalu menangis? Ok, sebut saja Thiya itu cengeng, tukang mewek, whatever…  Tapi aku juga nggak ingin yang seperti ini. Rasanya begitu menyesakkan. Bisa dibayangkan nggak bagaimana rasanya kita menahan sesak, susah payah menahan bulir jatuh dari mata, menahan satu sengguk di dada.  Karena kita tak punya ruang, tak ada tempat, tak memiliki tangan untuk digenggam, tak ada bahu untuk disandari.  Bahkan tidak boleh mengeluarkan sedikit bisik isak di kamar tidur maupun di kamar mandi. Ah, ini bukan waktunya ber-cengeng-cengeng ria, Thiya!  Tidak ada waktu untukmu mengeluh, berkeluh kesah atau bahkan menyerah. Okay, misiku saat ini adalah banyakin teman yang gokil-gokil. Aku butuh mereka untuk terapi kejiwaan [Masya Allah istilahnya itu, Thiyaaaa!!!]. Yah, bahkan aku nggak bisa leluasa punya teman. Aku ingin menikmati suara-suara mereka tertawa-tawa yang setiap mendengarnya bisa menggelitikku. Tapi aku
sendiri nggak bisa telfon-telfonan, sms-an, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hape-hapean. Adat dan tradisi tidak tertulis melarangku untuk itu. “Anak cewek nggak bagus telfon-telfonan. Kesannya cewek nakal. Pualing lama terima telfon itu 15 menit. Itu juga udah puaalliing lama!” Aku bisa merekam dengan sangat jelas petuah Babeh dulu. Padahal tariff nelfon di Indonesia hanya seribu perak/jam. Apalagi aku ini kan masih remaja [masa sih masih bisa disebut remaja?] yang obrolannya pasti bisa kemana-mana. Biasalah ibu-ibu. Arisan! Sehingga aku harus merelakan hape sepuhku satu-satunya no nada dering only vibrating alert. Ini sebagai cara agar aku bisa mengabaikan setiap telfon yang masuk dan bisa sms-an dengan sahabat dan saudara diam-diam di kamar. Yah, kenapa juga harus punya hape kalau nggak boleh ngegunain hape di depan umum? Kata Babeh sih, “kamu jangan salah kira Bapak ngijinin kamu pegang hape biar bisa seenaknya make-make hape. Tapi cuma biar sama aja dengan anak-anak lainnya yang punya hape. Biar nggak keliatan kayak orang susah” –percuma atuh!—HP cuma buat pajangan doing.
Ah, padahal kan cuma hape temenku di rumah. Kemana lagi? Aku nggak bisa kemana-mana. Nggak punya temen.  AKU PENGEN PUNYA TEMEEEEEENNNNNN!!!!! Hiks…

Kasih aku temen…. Pliz…
Photobucket

♥ Di saat seperti ini cuma Kau yang kuharapkan Ya Allah untuk mencukupi kebutuhanku...

1 komentar:

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ