Rabu, Agustus 18, 2010

FF: Gagal Membacamu, Pak

Gadis: "Pak, beasiswa saya ke Univ. Paramadina diterima. Alhamdulillah. Minta doanya, juga mohon dikirimi foto copy kartu keluarga."
Bapak: "Untuk apa? Perempuan itu nggak usah sekolah tinggi-tinggi, nanti ke dapur juga."
-----
Gadis: "Pak, saya diajak ikut Karang Taruna. Untuk pengembangan diri dan bersosialisasi dengan bertambah teman."
Bapak: "Nggak usah! Nggak ada untungnya juga. Kalau nggak menghasilkan uang, nggak usah ikut.
-----
Gadis: "Pak, saya diminta mengisi Pesantren Kilat. Ini saatnya mengamalkan apa yang saya dapat di pesantren. Agar tak sia-sia Bapak selama ini mengusahakan saya tamat pendidikan di Pesantren."
Bapak: "Ah, kalau tidak dibayar lebih baik ngajarin adikmu saja di rumah!"
Gadis: "Pak, dunia ini bukan untuk dikejar. Pahala mengamalkan ilmu akan mengalir pada orang tua tanpa mengurangi pahala yang mengamalkan sedikitpun."
Bapak: "Nyantri bukannya tambah pandai malah makin pintar melawan orang tua!"
-----
"Qobiltu nikaahaha wa tazwijaha, Gadis binti Arman, bimahri madzkur…."
Gadis pingsan. Lengannya membiru dicubiti karena dikira pura-pura.
Bapak: "Anak tak tahu diri! Bikin malu! Lempar saja ke selokan!" Wajahnya merah sebab amarah.
-----
"Sampai kapan kamu akan begini, Arman? Sama saja kamu memperdagangkan anakmu!"
Bapak terduduk di ruang tunggu RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat. Tempat akhir untuk Gadis yang gagal bersabar atas tekanan hidupnya.

---------------

Membaca adalah jendela dunia.

Sayang aku tak hobi baca,
mestinya aku tau banyak hal, mestinya aku bisa genggam dunia,
dan mestinya aku bisa selamat dari cobaan...

Tapi aku tak suka baca,
aku hanya bisa baca hatiku,
Tidak hatimu.
Aku tak mau jadi orang lain karena baca, aku tak mau punya Tuhan sang pengarang buku karena aku masih punya Tuhan.
Aku tak bisa buat prinsip dari buku pasaran karena masih ada aturan Tuhan.

Tapi aku harus mengerti isi hatiku dan hatimu, 
aku harus mengerti semua aturanmu,
ajari aku bila tak sama sepertimu, arahkan aku agar
dapat bersamamu,
dan dekap aku ketika aku ketakutan seorang diri.

Apakah kedewasaan selalu dikaitkan dengan kerasnya aturan?
Mengerti apa yang tak diajarkan, bekerja tanpa perintah, memahami tanpa permintaan, menyadari tanpa peringatan,
memperbaiki tanpa keluhan, buatku itu definisi kedewasaan...

semoga aku dapat mengerti apa yang kau inginkan....

oleh: Thiya Renjana
-------------------------------------------------------------------

*) Ditulis untuk memeriahkan lomba Kak Intan dan Mas Suga.
***) Untuk mengetahui lebih jauh tentang FF, baca di sini, di sini, dan di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ