Sabtu, Oktober 02, 2010

Thiya's Family, Amin !!


My Stick Family from WiddlyTinks.com


Banyak yang bertanya, kenapa Thiya berat dijodohin padahal setiap harinya melulu ngomongin Bab an-Nikah? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu membuat saya tampak bodoh dan angkuh. Bodoh tidak menggunakan kesempatan mewujudkan mimpi dan angkuh dengan over selektif memilih. Padahal bukan begitu. Bukan berarti saya pilih-pilih. Benar saya ingin menikah, benar saya sudah bosan melajang dan menjaga diri dari godaan sendirian. Tapi saya sadar bahwa menikah tak hanya cukup "ingin" tapi juga butuh "siap" dan belum tentu juga godaan pasca menikah tak lebih besar dari sebelum menikah. Dan yang lebih penting, bisakah pernikahan itu mewujudkan mimpi-mimpi saya yang lain?

Pernikahan kita bukanlah pernikahan Cinderella, yang dimana-mana kisahnya selalu ditutup dengan paragraf sakti: " Akhirnya pangeran dan puteri menikah. Dan mereka pun hidup bahagia selama-lamanya. Live happily ever after..". Kisah-kisah dongeng yang didahului cerita dramatis kemudian sang pangeran datang, menikahi gadis itu.. then, live happily ever after...

Sewaktu kecil saya senang sekali dengan kisah fantasi tentang putri dan pangeran tampan yang romantis. Setelah membaca dongeng semacam itu, mindset yang terbentuk adalah hidup itu akan selalu berakhir dengan keindahan dan kebahagiaan. Apalagi setelah menikah dengan orang yang kita cintai. Dengan kata lain, menikah adalah akhir dari penderitaan dan merupakan awal dari kebahagiaan (baca: kebahagiaan yang kekal).

Padahal dalam konsep agama. Kebahagiaan yang kekal adalah kebahagiaan di akhirat nanti. Kehidupan di dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan yang kekal di akhirat tersebut. Konsep ini yang justru kadang terlupa ditanamkan dalam mindset anak-anak. Akibatnya, banyak anak yang ketika mulai menginjak remaja dan dewasa tidak dapat membedakan fakta dan realitas. Dalam masa remaja, sangat berantusias mencari seseorang yang dicintai untuk dapat hidup bahagia selama-lamanya bersama dirinya sehingga tak jarang remaja-remaji belum siap menikah mudah mengobral janji setia sehidup semati dan mudah termakan rayuan gombalis. 

Yups, saya memang sering mengatakan bahwa untuk saya menikah adalah solusi paling logis yang saya punya saat ini. Tapi saya tahu, tidak seperti pernikahan Cinderella, cerita kita tidak akan tamat sampai di bagian pernikahan. Akan ada banyak masalah setelah itu. Bedanya, setelah menikah kita menghadapinya berdua.


Keinginan sederhana, jika Allah mengijinkan, pernikahan yang kekal dunia akhirat.
Keinginan sederhana, mengislamikan keluarga.
Keinginan sederhana, walau hidup serba sederhana tanpa sandang pangan pakan yang mewah tapi tetap memprioritaskan ibadah dan pendidikan.

Keinginan saya sederhana saja kan?

Pernikahan yang kekal dunia akhirat. Perkawinan dengan CINTA akan berlangsung selamanya. Karena CINTA itu HAKIKI. Ingin saling mengenal dulu sekedarnya untuk menumbuhkan sedikit kasih. Mengetahui bagaimana kepribadiannya semisal mobil pribadi, rumah pribadi, pesawat pribadi, apartemen pribadi, kesehariannya dalam menjaga ibadah, pemikirannya tentang segala hal kehidupan.

Keluarga Islami keluarga Rabbani. Bapak dan Mamah mertua, Abi Umi, anak-anak, semuanya terbiasa menggunakan bahasa daerah halus, tidak canggung berterima kasih dan tidak berat meminta maaf. Menyayangi yang muda memuliakan yang tua. Dunia bukan untuk dikejar, tetap memprioritaskan keluarga. Sehingga 'kerja keras' tak perlu terlampau 'keras'. Sehabis Ashar usahakan selesai dari rutinitas mencari nafkah demi sesuap nasi dan segunung emas berlian agar sempat shalat Maghrib berjama'ah di rumah dan mengajarkan si kecil tentang ayat-ayat Allah setelahnya. Menceritakan kisah-kisah teladan Nabi dan para sahabatnya sebelum terlelapnya di kecil. Mengkaji kembali kitab-kitab klasik atau mendiskusikan tentang pencapaian hari ini dan planning esok hari sebelum suami istri lelap.

Keinginan saya sederhana dan seharusnya mudah saja untuk segera menikah. Tapi 'masalah internal akut menahun' di keluarga saya mengharuskan saya bersabar hingga saat ini. Untuk sementara saya mesti mengesampingkan keinginan menyempurnakan sunnah Rasul itu dulu. Mungkin Allah belum mengijinkan amanah ini karena saya belum siap. Allah tahu kalau saya masih belum bisa masak, masih suka menumpuk cucian dan setrikaan, masih suka langsung tertidur sebelum membereskan kamar dan rumah, masih suka keteteran update tilawah dan shalat sunnahnya, masih saja beralasan tak punya waktu padahal belum punya tanggungan anak dan suami, masih saja.... Duh, gimana sih Thiyaaaaaa???

Mungkin Allah menghendaki saya memikirkan hal lain untuk pengembangan diri dulu. Bekerja, membantu orang tua dulu sebelum lepas dari mereka. memperbaiki ibadah wajib dan sunnah yang masih saja sering keteteran mumpung masih belum ada tanggungjawab keluarga, memelihara pergaulan baik dengan tetangga, meraup teman sebanyaknya, belajar dari keluarga, sahabat, buku, internet, dan kehidupan.

Sungguh rupanya untuk menuju pernikahan saya hanya punya 'ingin' tanpa memiliki 'siap'. Sungguh Allah benar menangguhkan masa menggenapi separuh dien saya.

Sawaa bikul himami la tahriku aswaarol akdaar...
Kesemangatan yang luar biasa itu tidaklah bisa menerobos tirai qodlo dan qodar Allah. 

Apa-apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah terimalah dengan sabar.
Dan engkau akan selamat dari apa yang tidak ditakdirkan.

~ Thiya Renjana ~
Bandung, ruang kerja yang lengang....
Aku menyesal terlambat lahir karena semua hal pernah dilakukan orang-orang,
tapi satu yang tak pernah kusesali adalah pilihan hidupku untuk mencintaimu.


 ‎"Lembutkan hatiku. Ampuni dosaku. Perbaiki amalku. Aku merasa hati ini keras. Keras sekali."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ