Sabtu, Desember 18, 2010

Ke-pulangkampung-an kami yang mendadak

Bismillahirrohmaanirrohiim....

Back to activity....
Semoga tidak ada yang merindukanku, heuheu :D

Baru tiga hari kerja, baru kemarin datang dari kampuang nan jauah di mato. Tapi berasa udah lama banget. Kasihan Lazuardi Hati nggak ada yang ngurusin. *Bersihin sarang laba-laba*

Sebenarnya dari hari pertama mulai kerja lagi, sudah pengen cerita banyak. Setelah selesai membersihkan sarang laba-laba dan debu, sayangnya saya masih malas-malasan dan berkilah dengan alasan yang dibuat-buat kalau sedang sibuk mengecek dan membalas ratusan email, PM FB, komentar blog, mention Twitter, karma Plurk yang menyusut parah, notification Goodread, dll. Saya terheran-heran, sebenarnya saya ini hidup di dunia nyata atau maya sih? Hiatus 20-an hari saja dari dunia maya kok sebegini merepotkan merapikan kembali rumah-rumah maya ini.

Oke, mulai dari mana ya?

Alasan kami sekeluarga pulang kampung mendadak.

Pada hari Senin malam tepatnya tanggal 22 November 2010, Babeh baru pulang ba'da Maghrib ke rumah. Setelah makan malam, beliau memberi tahu Mamah kalau Bapaknya Mamah (saya memanggilnya Mbah Asmad) di Madura sedang sakit keras. Babeh bilang akan mengusahakan pinjaman uang agar kami sekeluarga bisa pulang kampung secepatnya. Setelah memberi tahu Mamah, Babeh langsung keluar lagi. Mungkin sedang mencari ongkos mudik. Beberapa saat setelah kepergiannya, hape di rumah berdering. Dari sepupu Mamah di Madura.

"............................."
"Apa? Kapan?"
Lalu tiba-tiba saja Mamah menangis.

Adegan selanjutnya, Saya dan si bungsu mengerubungi Mamah sambil memeluknya. Walau belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, saya dan si bungsu menangis seraya mengusap-usap tubuh Mamah. Bertanya kenapa Mamah menangis, ada apa? Tapi Mamah belum bisa menjawab. Dia masih berbicara dengan Paman di telfon sambil berurai air mata. Kami sesenggukan bertiga. Di rumah tidak ada orang lagi.

Ternyata Paman tadi mengabarkan Mbah sudah tiada. Saya mengeratkan pelukan sambil mengusap-usap punggung dan bahu Mamah. Mencoba mengambil kesedihannya agar sedikit berkurang. Lalu Mamah menelfon Babeh. Rupanya Babeh sudah tau kabar duka itu sebelumnya tapi merahasiakannya dari Mamah.

Finally, setelah sehari semalam akhirnya ada juga sedikit uang untuk ongkos kami sekali perjalanan. Berangkatnya kami naik kereta siang dari st. Kiara Condong. Berada dalam gerbong kereta menuju kepulangan. Panas, gerah, bising. Hujan menampar-nampar kaca jendela. Sahabat karib saya si hape sepuh terpaksa dibunuh dulu untuk menghemat battery di Surabaya nanti. Hanya sibuk sendiri menikmati Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelasnya Andrea Hirata di antara tebing batu, kabut, dan bebukitan hingga khatam keduanya. 

Di Surabaya tiba tengah malam. Sebenarnya saya ingin menjemput rinduku di sini. Tapi Babeh tiba-tiba jadi rese dan kemudian... Sreeetttt, sensor! ^^v

Tinggal sekali menyeberang untuk kembali membaca kenangan-kenangan. Benarlah kata orang, sejauh dan selama apapun kita pergi, tanah kelahiran tak pernah asing...

Keseharian saya di sana.

Tengah malam kami menyeberang dari Surabaya ke Madura melewati jembatan Suramadu. Jembatan yang ramai dibicarakan orang ternyata cuma segitu. Lampunya nggak nyala. Saya benar-benar merasa tidak beruntung kali ini. Saya ingin naik kapal fery saja. Tiba di pasar Blega pada pagi buta. Menunggu jemputan belum datang juga. Semuanya kecuali saya tertidur di teras pertokoan, sedangkan saya terkantuk-kantuk menunggu barang. Dengan sisa-sisa battery hape, saya hanya buka-buka FB mobile.

Baru setelah matahari mulai memunculkan diri dan pasar mulai hidup, ortu berbelanja kebutuhan dapur juga oleh-oleh sekedarnya. Baru setelahnya kami berangkat menuju kampung kami yang masih masuk jauh ke pelosok. Beghunung.

Kesan pertama? Hanya ada sedikit perubahan di kampung sejak kepulangan saya terakhir dua tahun lalu. Jalanan yang mulai membaik. Walau tidak mulus, tapi masih bisa dilalui kendaraan bila hujan tiba. Yang paling saya syukuri adalah listrik yang sudah masuk ke kampung kami. Setidaknya saya jadi bisa bebas main hape untuk memainkan mp3 atau foto-foto. Mayoritas penduduk Madura dan nyaris seluruh penghuni Beghunung menjadi pelanggan operator selular XL. Walau sinyalnya sulit tapi saya ngikut saja. Alasannya agar tidak kesulitan berkomunikasi dengan saudara-saudara saya di sini.


Kami tinggal di rumah pamannya Mamah, Mbah Ali. Karena sejak orang tua Mamah berpisah sewaktu Mamah masih kecil dulu, Mamah tinggal di sini bersama neneknya alias Mbah Buyut saya. Sayangnya, ada perasaan yang tak terdefinisi. Paduan kecewa, menyesal, trauma, tertekan, sedih, harapan, damai, juga bahagia. Entah betah entah gelisah. Semoga indah pada waktunya, Allahul Musta'an...

Karena saya tidak punya kegiatan di sini, tentu saja aktifitas sehari-hari menjadi itu-itu saja. Benar-benar liburan total. Terbangun subuh oleh suara tarhim dari masjid al-Mubarok milik Mbah Yai Sanusih Ali. Suara-suara serangga adalah muqodimah. Lalu sholat jama'ah di Langgar dengan Mbah Ali sebagai imam tetap. Doa berjatuhan di kusam sajadah, di luaran sekumpulan cahaya memanjat dinding atap rumah. Saya selalu hanyut pada dzikir panjang Mbah-Mbah saya di Langgar setiap ba'da Subuh. Satu-satunya tempat yang membuat saya betah adalah Langgar. Tempat sholat khas masyarakat Madura. Sebuah rumah sederhana terdiri dari satu ruangan yang berisi dipan bambu sangat besar memenuhi hampir seluruh ruangan. Sisa tempatnya biasanya meja kayu besar dan kursi-kursi untuk menerima tamu atau berbincang-bincang keluarga. Di rumah ini, sholat wajib lima waktu sangat dijaga oleh Mbah Ali. Dia akan teriak memanggil seluruh anggota keluarga bila waktu sholat tiba dan menanyakan alasan siapapun yang absen jama'ah.

Setelah matahari melindapi langit baru menyapu halaman. Biasanya harus dua orang yang menyapu pekarangan. Dan selama kami di sini, biasanya Mamah dan saya. Jadi paling hanya itu olah raga saya di sini ^^ .

Tentang Madura

Karena dibesarkan di Bandung dan pernah hidup di Malang, saya kurang mengenal Madura. Bahkan bahasa halusnya pun masih berantakan. Hanya paham sedikit dari apa yang diucapkan orang. Selama di sana, saya bercerita menggunakan dwi bahasa, Indonesia dan Madura. Karena setiap saya memaksakan diri full menggunakan bahasa Madura saya yang amburadul, lawan bicara saya sering mengeluhkan tidak mengerti apa yang sedang saya bicarakan. Hadeehh, parah!

Saya juga tidak tahu alam. Tidak bisa kemana-mana tanpa diantar. Sedangkan saya belum menikah, jadi belum ada suami yang bisa siap sedia mengantar saya kemana saja. Jadi selama mudik kemarin saya hanya keluar untuk menemani Mamah ke rumah Ibunya, rumah almarhum Bapaknya —semoga Allah merahmatinya— , dan ke rumah mertuanya atau ke rumah Babeh. Berbeda dengan mudik terakhir dua tahun lalu yang masih ada A'Mujib dan membawa sepeda motor ke Madura sehingga kemana-mana diantar jemput, kali ini saya dan Mamah kemana-mana harus berjalan kaki. Capeknya sih tidak seberapa, tapi panasnya itu loh yang kagak nahan. Menyengat tembus ke kulit >_<"

Sebenarnya, mumpung ada di pulau Madura yang terkenal dengan para Ulama Salafnya, saya ingin sekali spiritual travelling mengunjungi Makam Syaikhona Kholil, Makam Batu Ampar, atau lainnya. Atau setidaknya, mumpung sedang liburan dari kepenatan kerjaan, saya ingin mengunjungi satu persatu pantai Madura yang masih eksotis dan belum banyak dijamah pengunjung. Sayangnya karena alasan tadi, saya belum punya suami yang bisa mengantar --teutep--

Beberapa fakta menarik, di kampung orang-orang masih percaya mitos dan cerita mistis. Juga banyak sekali larangan-larangan pamali. Semisal tidak boleh menjemur pakaian setelah ba'da Ashar dan lain-lain.
Design rumah dan letak arsitekturnya hampir seragam. Bentuk atap yang rendah hingga saya seringkali harus merunduk ke untuk masuk ke dalam rumah, warna yang biasanya cerah norak, dan letak arsitektur biasanya terdiri dari beberapa bangunan terdiri dari rumah inti, Langgar, kamar mandi, kandang, dapur dengan pola Langgar di bagian tengah sebelah barat diapit oleh bangunan lainnya di utara dan selatannya.

Suhu di sini panas. Tapi ternyata kalau hujan, suara guruh dan guntur di desa lebih kuat dan keras. Di luar gelap segelap-gelapnya, dingin sedingin-dinginnya. Petir kilat mencabik-cabik langit. Duh Gusti, lindungi orang-orang yg kucinta disini. Ngeri membayangkan gunung di belakang rumah di saat seperti ini.
Dan satu lagi, mayoritas orang madura berkulit hitam manis memang benar. Baru dua minggu saya di sana, kulit saya sudah sangat legam dan belang-belang. Sepertinya untuk satu atau dua bulan ke depan saya tidak mau foto-fotoan dulu. Isin! (╯3╰)

Pun begitu, sepertinya saya merasa lebih betah di sana. Karena di rumah saya di Beghunung banyak saudara perempuan. Saya merasa banyak teman, ada yang bisa diajak cerita-cerita, tak lagi merasa sendirian. Sedangkan di Bandung saya hanya akrab dengan buku, hape, dan PC :(

Hmm, apa lagi ya?

Ada wejangan Mbah Ali pada satu waktu ba'da Maghrib yang saya ingat; untuk masuk surga, perempuan hanya butuh 4 perkara. 1) Sholat, 2) Puasa, 3) Patuh pada suami, 4) Tubuhnya tidak dikasihkan pada lelaki lain.
Mbah Ali juga sering menganjurkan beberapa doa dan amalan-amalan dari Kyai Salaf. Juga mendoakan orangtua hingga nenek moyangnya.

Ya Allah, ampunilah kesalahan kami, kejahilan kami, sikap kami yang melampaui batas dalam urusan kami dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diri kami. Ya Allah, ampunilah kami, kesalahan yang kami perbuat tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahan kami saat kami tidak sengaja maupun sengaja, ampunilah segala kesalahan yang kami lakukan...

Sebenarnya ada cerita penting yang belum diceritakan, tapi saya masih mikir-mikir untuk menulisnya. Segini dulu saja deh. Saya mau ngemil kurma dan kacang Makkah dulu, dadah ^^

~ Thiya Renjana ~
Bandung, 18122010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ