Sabtu, November 12, 2011

Teruntuk Calon Suamiku ...

Saat ini aku tak ingin jadi temanmu, kekasihmu, tunanganmu, suamimu, atau apalah namanya. Karena aku tahu dirimu tak membutuhkan itu.
Saat ini yang dirimu butuhkan adalah ketenangan, kedamaian, dan aku berharap aku bisa jadi laki-laki yang membuat hatimu tenang dan damai.

- s o m e o n e -

Bismillahirrohmaanirroohiim...

Kriteria utamaku hanya dua. Lelaki yang memprioritaskan ibadah dan pendidikan, kemudian sebisa mungkin ia berasal dari suku Madura.

Kenapa saya berharap pria dari suku Madura? Alasannya karena kemauan oran tua saya adalah begitu, dan kemauan saya juga. Karena saya rasa bila kami dalam latar belakang suku yang sama maka akan lebih mudah dalam komunikasi dua keluarga. Mudik akan ke arah pulau tujuan yang sama. Dan tidak banyak perbedaan tradisi atau budaya. Sebab saya khawatir bila bersama non-Madura, ada hal-hal yang menurut kita sopan tapi menurut keluarga suami justru tidak sopan dan atau sebaliknya. Juga menurut pengalaman saya pribadi, mayoritas saudara saya yang menikah dengan non-Madura ketika kumpul-kumpul dalam acara keluarga kesannya dikucilkan oleh kaum tua-tua. Kaum tua-tua menganggap nanti anak-anaknya pasangan itu akah hilang suku Maduranya, tidak bisa berbahasa Madura, dan tidak lagi bangga menjadi orang Madura. Dan alasan lain sebagainya.


Selebihnya, karena saya dibesarkan dalam keluarga yang patriarki, yang perempuan tidak diajak berunding dan tiap berpendapat seringnya dibilang, "tak usah ikut-ikutan, cukup dapurnya saja urusin!" (ini terjadi pada Mamah, saya, kakak ipar, bibi-bibi, mbah putri, dan nyaris di semua keluarga besar saya). Maka saya berharap Allah memberiku suami yang menempatkan saya di sisinya, bukan di belakang atau di bawahnya. Tapi ini bukan bermaksud saya ingin setara dengan suami dalam segala hal atau langka de' lakenah. Saya tetap menjadikan suami sebagai kepala dan saya cukup jadi leher. Toh kepala tanpa leher juga tidak bisa ngapa-ngapain, tidak bisa tolah-toleh.
Selama ini juga kurang mendapat support untuk pengembangan diri. Tidak boleh ambil beasiswa saya di Paramadina Jakarta, alasannya anak perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi. Tidak diijinkan ikut komunitas atau kegiatan semisal Karang Taruna atau mengajar SMP atau pesantren kilat. Diajak ikut seminar oleh kawan SD pun tidak pernah ijin karena kerap dibilang untuk apa, penting ngga, dapat duit ngga? Saya senang menulis, pernah ada uang ingin membeli laptop tapi tidak disetujui. Ingin kamera pocket karena saya gemar fotografi juga tidak dibolehkan. Alasannya anak perempuan tidak pantas pegang-pegang kamera. Buku pun beli diam-diam karena kata mereka buku mahal-mahal, buat apa, kalau bukan buku pelajaran tidak usah, tidak penting. Dan banyak kasus lain.

Maka, saya berharap kelak bersama suami bisa saling mendukung. Kegemaran seseorang tidak akan bisa dimengerti kecuali oleh sesama penggemar itu sendiri. Saya harap asal tidak mengganggu kewajiban pada keluarga dan tidak bertentangan dengan syari'ah, saya dan suami bisa saling support. Misalnya suami suka balapan, oke. Asal tidak sampai lupa anak istri. Tapi kalau gemarnya taruhan atau sabung misalnya, naudzubillah. Saya tidak akan diam saja.

Seringnya segala keinginan dan cita-cita tidak mendapatkan dukungan keluarga. Saya pikir, harapan satu-satunya adalah setelah otoritas orang tua berpindah ke tangan suami. Makanya saya sering membicarakan pernikahan. Bukannya karena kebelet. Bukan. Tapi karena ingin keluar dari lingkaran ini. Seharusnya mudah saja buat saya nikah cepat karena ada tunangan. Tapi karakter dia sama saja dengan keluarga saya. Apa tidak makin panjang saja keterbatasanku kalau menikah dengannya?

Sepertinya tulisan saya membingungkan ya? Berbelit-belit. Intinya saya sangat berharap suami saya akan menjadi orang yang paling mengerti saya, mengerti bakat, minat, hobi, dan keinginan-keinginan saya. Berharap suamilah yang akan menjadi malaikat dan pahlawan yang mengeluarkan saya dari keterbatasan-keterbatasan dan kungkungan ini. Walaupun bisa jadi setelah menikah nanti saya justru tidak lagi butuh banyak hal. Pada kehidupan baru itu saya mungkin sudah tidak tertarik untuk berkeliling dunia, memotret hal-hal baru. Bahkan, mungkin saya sudah bosan menulis puisi.

Lalu... Apa yang kamu —calon suamiku yang entah siapa— harapkan dari seorang istri? Bisakah terima walau si istri tidak bisa memasak sehingga setelah menikahpun kemungkinan masih sedang belajar memasak?

"... sewaktu lahir, manusia begitu lemah, menjelang kematian ia menjadi kaku dan keras. 
Daun muda selalu hijau dan lembut, daun tua menjadi layu dan kering. 
Ia yang kaku dan keras, sedang berjalan menuju kematian. 
Ia yang lemah dan lembut sedang melewati kehidupan." 
[ Lao Zi ]

semacam er i en de u yang mengacaukan jadwal tidur
12112011 - D'CozZy Net, Dayeuhkolot Bandung

7 komentar:

  1. selain karena ibadah dlsb, setiap orang pasti mempunyai alasan tersendiri untuk menikah, sama halnya dengan thiya dan saya juga :)
    semoga mendapatkan apa yang diharapkan yah ...

    BalasHapus
  2. Aamiin..., makasih yah Selly...
    pengen deh ketemu kamu dan keponakanku itu ^_^

    BalasHapus
  3. dugaanku selama ini benar, ternyata memang ada hal yg tertahan dalam diri kamu thiya.. :) lepaskanlah..biarkan seringan awan..

    BalasHapus
  4. Iyah.. mohon doa dan dukunganya saja yah :)

    BalasHapus
  5. wah napa mau cari calon dari suku madura hehehe..

    BalasHapus
  6. Madura memang belum betul-betul bisa terhindar dari budaya patriarkhi. Namun, beberapa tahun belakangan di sejumlah daerah hal itu mulai tergusur dengan perlahan-lahan. Di rumah saya sudah jarang sekali perempuan yang dipaksa menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Mereka lebih suka dengan pilihannya sendiri. Dan para orang tua juga sudah mengerti keadaan tersebut.

    BalasHapus
  7. Semoga Mbak tia mendpt jodoh yang sesuai dgn keinginanx.. AMinn
    Tuhan akan mengabulkan permintaan hamba nya yang patuh kepadaNya..

    BalasHapus

Hatur tengkyu atas kunjungan silaturahimnya.
Orang keren pasti koment ˆ⌣ˆ