Bismilahirrohmaanirroohiim...
Rindu itu sederhana. Ketika baru saja kamu duduk di sampingku kemudian terdengar mengalun Sepanjang Hidup-nya Maher Zein dari sound system ruangan. Lagu kebangsaan kita berdua. Rindu yang sederhana, menatapmu lekat-lekat ketika turut menyanyikannya dekat sekali dengan telingaku lalu merekamnya dalam tali-temali syaraf otak. Dan kamu cuek saja.
Rindu itu sederhana saja. Berdua menatapi hujan yang tidak jua reda. Melengkapi satu dari sekian skenario Tuhan, bahwa Ia tahu hati-hati kita risau ingin berlama-lama. Kalau didengarkan, hujan itu selalu memiliki cerita tentang saya, kamu, dan kenangan. Hingga hari ini saya kembali mempertanyakan siang, apakah ia bawa hujan lagi seperti kemarin. Saya hendak titip rindu. Menyelipkannya di antara milyaran tetesan itu. Walaupun hujan sore kemarin masih menyimpan genangan, seperti jejakmu yang meninggalkan kenangan. Rindu yang sederhana. Sebab saya semakin senang memandangi hujan sekarang. Selalu ada kamu dalam hujan, sayang. Kamu hanya tidak pernah paham.
Rindu itu ternyata sederhana saja. Duduk bersisian, bersamamu. Lalu kita berdua diam. Itu adalah perbincangan paling melelahkan. Saya mengatupkan kedua tangan dan meniup-niupnya. Sibuk menghalau dingin. Terlihat tenang, tapi mengoyak-ngoyak di dalam. Saling mencari tahu apa yang sedang dipikirkan. Tapi untungnya itu tak berjangka waktu yang lama. Kamu mulai bercerita segala hal, sambil tertawa-tawa. Saya tidak ikut bercerita. Saya lebih suka menjadi pendengar. Mendengarkan kamu tertawa meski kadang tidak paham bagian mana yang lucu yang bisa membuat kamu tertawa begitu. Saya memang tidak suka banyak bicara. Saya lebih suka memperhatikan cara kamu berbicara juga setiap inci ekspresimu ketika semangat menceritakan apa saja. Saya menyukainya.
Rindu itu memang sederhana. Ada saat kita sama-sama terbahak, ketika kamu meminta kita saling bertatap dan saya selalu membuang wajah mengaku malu sambil tertawa. Padahal saya hanya tidak bisa. Menatap matamu sekedipan saja membuat saya lemas tak berdaya. Pernah hanya memergokimu sedang melihatku atau merasakan bibirmu di jemariku, membuat saya sembunyi-sembunyi mengelus dada. Mencoba meredakan hujan di dalam sana. Sejak detik pertama kamu tiba, di depan sayu matamu saya kian memahami. Di hatimulah, saya akan menjatuhkan diri, sebagai cinta.
Hingga akhirnya tiba waktu untuk kita berpamitan. Apakah kamu menyesal bertemu denganku? Jawabanmu saat itu kucatat detail di dalam hati. "Seandainya aku bukan manusia, aku sudah mempertaruhkan nama Tuhanku. Namun, karena aku adalah manusia, maka cukup aku ucapkan Bilhaq aku makin sayang sama kamu..." Saya ingin memelukmu, tapi keberanianku belum cukup untuk itu. Untuk dapat terbang, seorang manusia harus berpasangan dengan seorang manusia yang lain, kata Luciano Crescenzo dalam bukunya, karena ia hanya punya satu sayap, sehingga ia harus melengkapinya dengan sayap milik seorang yang lain. Dan saya pun mengikhlaskan sebelah sayapku itu pergi. Yakin ia akan kembali karena sayap itu tak akan bisa terbang tanpa sebelah yang lain. Di sini.
Hari kemarin, adalah kado akhir tahun terindah buat saya. Rindu sederhana. Mengatakannya kepadamu yang tidak pernah bisa sederhana. Membersamaimu. Sedekat itu. Jantung berdebar yang menyiksa kemarin pun sudah hilang. Hanya senyummu yang masih muncul kadang-kadang. Nanti, kalau waktu mempertemukan kita lagi, kamu pasti bisa melihat rindu di mataku. Sejelas kamu melihat senyumku ketika itu.
Senin sore, 26 Desember 2011M.
Bojongsoang Bandung, hujan lagi...
Apa kamu juga tiba-tiba saja merindukanku seperti yang kulakukan sekarang?
DI Bojongsoang hujan?
BalasHapusDi paviliun saya daerah cipaganti gak hujan sama sekali tanggal 26 ini....
Membaca tulisanmu kembali. rasanya sulit bagiku untuk tidak meninggalkan komentar kali ini. perlu kamu ketahui, membaca tulisanmu ini membuat aku sperti kembali ke kotamu... dan senyumanmu yang kau suguhkan di setiap tiap pembicaraan.. masih terlukis jelas dalam ingatanku......
BalasHapus